Pilkada Langsung Lebih Banyak Negatifnya Daripada Manfaatnya?
Penulis : Farid Kusuma - Editor : Jurnal Parlemen | Kamis, 19 November 2015 20:19:56 |
Ketua Lembaga Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar memandang Pilkada langsung lebih banyak sisi negatifnya ketimbang manfaatnya. Salah satu yang mencolok adalah minimnya pemimpin yang berkualitas.

Senayan - Akhir tahun 2015, sejumlah daerah bakal melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat dan terdaftar sebagai pemilih berhak mememberikan suara untuk pasangan calon kepala daerah.
Namun, Ketua Lembaga Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar memandang Pilkada langsung lebih banyak sisi negatifnya ketimbang manfaatnya. Salah satu yang mencolok adalah minimnya pemimpin yang berkualitas.
"Tahun ini merupakan satu dasawarsa Pilkada langsung diselenggarakan. Sayangnya ini belum sesuai dengan harapan sehingga perlu ditinjau kembali. Semua tentu menginginkan Pilkada menghasilkan pimpinan yang berkualitas," ujarnya dalam acara bedah buku Pilkada: Penuh Euforia Miskin Makna, Kamis (19/11), di Perpustakaan MPR, Jakarta.
Rully menukil Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatakan bahwa Pilkada dipilih secara demokratis sedang Pilpres dilakukan secara langsung. Diakui dalam era reformasi ada semangat untuk melaksanakan demokrasi secara terbuka.
Hal inilah yang menjadi penyebab Pilkada akhirnya juga dilakukan secara langsung dengan asumsi kalau dipilih oleh orang banyak akan bagus.
Pilkada langsung mulai diterapkan sejak tahun 2005. Dalam rentang waktu tahun 2005-2009, sudah terjadi 350-an Pilkada. “Setiap minggu bahkan setiap hari ada Pilkada. Tak ada hari tanpa Pilkada," imbuhnya.
Lima tahun pertama, menurut Rully, memang belum ada masalah. Namun pada tahun 2007 mulai ada yang mengeluhkan soal Pilkada, sehingga pada tahun 2014 ada upaya untuk mengevaluasi Pilkada.
Evaluasi itu karena dalam perkembangannya, rakyat memilih calon kepala daerah karena uang. Hal itu merupakan efek domino sebab rakyat merasa calon yang terpilih menjadi kepala daerah akan lupa janji manis saat kampanye.
Dilihat dari taraf ekonomi dan pendidikan, masyarakat Indonesia memang masih rendah. Pendapatan perkapita masih rendah dan banyak yang cuma lulusan SD dan atau SMP. Hal inilah yang membuat kualitas demokrasi dan Pilkada belum sesuai harapan.
"Faktor ekonomi dan pendidikan yang masih belum menggembirakan membuat adanya transaksional dalam Pilkada," tegas politisi dari Partai Golkar ini.
Lebih lanjut, Rully menilai bangsa ini masih dalam masa transisi sehingga perlu dikawal jangan sampai proses demokrasi ini dirusak oleh politik uang.
Baca "MPR" Lainnya |