Pengendalian Inflasi akan Sulit Jika Harga BBM Fluktuatif
Penulis : Jay Waluyo - Editor : Farid Kusuma | Rabu, 28 Januari 2015 00:18:59 |
Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai, pengendalian inflasi akan semakin sulit jika harga bahan bakar minyak (BBM) fluktuatif.

Ini harus benar-benar menjadi perhatian Pemerintah. Kebijakan melepas harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme harga pasar harus ditinjau ulang
Senayan - Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai, pengendalian inflasi akan semakin sulit jika harga bahan bakar minyak (BBM) fluktuatif.
"Pemberlakuan tarif pasar harga BBM bersubsidi yang bisa naik turun kapan saja buruk bagi pengendalian inflasi. Karena mayoritas harga barang, terutama pangan masih sangat terpengaruh oleh harga BBM. Kecenderungan umumnya, ketika harga BBM naik, harga-harga barang akan naik. Tetapi ketika turun, harga-harga barang tidak turun. Sehingga kecenderungannya inflasi tetap tinggi, dan ini buruk," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).
Harga BBM bersubsidi yang dinaikkan pada tanggal 1 November 2014 telah mendorong inflasi naik. Tetapi ketika harga premium turun dari Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter, sementara harga solar juga turun dari Rp 7.500 per liter menjadi Rp 7.250 per liter pada 1 Januari 2015, hal ini ternyata tidak berdampak pada penurunan biaya transportasi dan harga-harga barang.
Demikian juga ketika Pemerintah kembali menurunkan harga BBM bersubsidi untuk bensin premium menjadi Rp 6.600 per liter dan solar menjadi Rp 6.400 per liter pada 19 Januari 2015.
"Tidak ada penurunan harga-harga, padahal harga BBM bersubsidi sudah sangat dekat dengan harga awal, sebelum November 2014," imbuhnya.
Legislator dari Fraksi PKS itu juga memberi contoh ketika masa Pemerintahan SBY yang menaikkan dan menurunkan harga BBM bersubsidi, tetapi tidak berdampak pada penurunan harga-harga kebutuhan masyarakat.
"Ketika dinaikkan, harga-harga naik tinggi. Tetapi ketika harga BBM diturunkan, sama sekali tidak berdampak pada turunnya harga kebutuhan pokok dan ongkos transportasi saat itu. Maka kalau harga BBM bersubsidi fluktuatif, maka akan berdampak buruk pada inflasi dan cenderung bias ke atas," tegasnya.
Selain itu, Ecky melihat tren penurunan harga minyak juga kemungkinan tidak berlangsung lama. Tentu ketika harga minyak kembali rebound, maka penaikan harga BBM Bersubsidi akan semakin sering. Ketika penyesuiannya naiknya sering, maka dampak terhadap kenaikan harga-harga juga akan semakin besar.
"Ini harus benar-benar menjadi perhatian Pemerintah. Kebijakan melepas harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme harga pasar harus ditinjau ulang. Karena kenaikan harga-harga dan pengendalian inflasi yang semakin sulit akan berdampak buruk bagi daya beli rakyat kecil," tutur anggota Komisi Keuangan dan Perbankan tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah melaporkan tingkat inflasi nasional pada 2014 cukup tinggi mencapai 8,36 persen. Tingkat inflasi yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh komoditas yang harganya berfluktuasi sepanjang tahun 2014, diantaranya kenaikan harga BBM bersubsidi yang menyumbang andil 1,04 persen.
Selain itu, tarif listrik menyumbang andil inflasi pada 2014 sebesar 0,64 persen, angkutan dalam kota 0,63 persen, cabai merah 0,43 persen, beras 0,38 persen dan bahan bakar rumah tangga 0,37 persen.
"Yang juga perlu kita cermati dan diperhatikan serius oleh Pemerintah adalah dampaknya nanti terhadap inflasi komponen harga pangan bergejolak atau volatile food. Akibat kenaikan harga BBM tahun 2014 angka inflasinya mencapai 10,88 persen dan tahun 2013 bahkan mencapai 13,8 persen," katanya.
Itu artinya beban rakyat kecil dan tekanan terhadap daya beli mereka dengan kenaikan harga-harga pangan sangat besar dari dampak kebijakan tersebut.
Baca "Analisa" Lainnya |